Categories
Ilmu Pendidikan

UU No.13 Tahun 2003 | Regulasi Perlindungan bagi Para Tenaga Kerja

Untuk mencapai kesejahteraan seluruh tenaga kerja di Indonesia pemerintah kita telah mengeluarkan kebijakan dalam bentuk UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Apakah kalian mengetahui isi terkait UU ini?

Sekilas UU ini membahas secara lengkap seluruh kewajiban pengusaha kepada karyawannya dan hak apa saja yang harus didapatkan. Nah pada bab ini kita akan membahas beberapa hal penting terkait isi UU No 13 Tahun 2003 dan sekilas penjelasannya.

Langsung saja kita simak pembahasan berikut ini.


Perihal Terkait UU No 13 Tahun 2003


bisnis.tempo.co

Berikut ini adalah beberapa penjelasan terkait subjek-subjek atau pelaku yang terdapat pada UU No 13 Tahun 2003:

  • a) Pengertian Ketenagakerjaan berdasarkan UU No 13 Tahun 2003 adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja.
  • b) Pengertian tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
  • c) Pengertian pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
  • d) Pengertian pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya yang memperkerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Tujuan dari UU No 13 Tahun 2003

Pada UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan Bab II pasal 3 disebutkan tujuan pembangunan ketenagakerjaan, yaitu sebagai berikut :

1. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi

Maksud dalam kata memberdayakan dan mendayagunakan adalah meliputi suatu aktivitas atau kegiatan yang terpadu. Yang nantinya akan memberikan kesempatan kerja yang seluas-luasnya bagi masyarakat Indonesia.

Melalui kegiatan ini diharapkan masyarakat Indonesia dapat berpartisipasi secara optimal dalam rangka pembangunan nasional dan dalam prosesnya diharapkan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

2. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja

Yaitu penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah.

Maksud tujuan kedua ini adalah perlunya dilakukan pemerataan kesempatan kerja di seluruh wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan memberikan kesempatan yang sama pada setiap tenaga kerja sesuai minat dan kemampuannya.

Selain pemerataan pada kesesuaian minat dan kemampuan, pemerataan pada penempatan kerja juga menjadi tujuan di pasal ini. Agar terjadi pemerataan kebutuhan tenaga kerja di berbagai daerah di Indonesia ini.

3. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan

Maksud dari tujuan ini adalah pemerintah akan memberikan perlindungan kepada setiap tenaga kerja Indonesia, baik dalam negeri maupun yang ada di luar negeri. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah mengalihkan bidang ketenagakerjaan dari hukum privat menjadi menjadi hukum publik.

4. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya

Penjelasan pasal ini sudah mencakup penjelasan di pasal sebelumnya bahwa pemerintah memberikan perlindungan untuk meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja Indonesia termasuk di dalamnya keluarga.

Selain poin-poin di atas, hal-hal penting yang terkait perjanjian kerja juga merupakan sesuatu yang harus diperhatikan. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja atau buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang didalamnya memuat syarat-syarat, hak serta kewajiban dari kedua belah pihak yang bersangkutan.

Dalam Pasal 1320 KUHP Perdata terdapat syarat terjadinya perjanjian yang sah, yaitu kesepakatan mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu pokok persoalan tertentu, sebab yang tidak dilarang serta hubungan kerja.

Jadi kedua belah pihak harusnya memperhatikan syarat-syarat tersebut agar perjanjian kerja diantara keduanya sah di mata hukum.

Nah, itu tadi adalah sekilas penjelasan terkait UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan baik dari pelaku atau subjeknya. Tujuannya serta beberapa hal lain yang perlu diperhatikan dalam perjanjian kerja.

Jika kalian seorang pengusaha atau sebagai pelaku usaha, kalian harus mengetahui hal-hal terkait Undang Undang ini. Agar nantinya dapat membuat aturan serta persyaratan yang sesuai untuk para pekerja agar tidak menyalahi UU ini. Semoga bermanfaat!

Originally posted 2020-10-19 15:00:14.

Categories
Ilmu Pendidikan

UU No 12 Tahun 2011 Tentang Tata Urutan Perundang-Undangan

UU No 12 Tahun 2011 – Indonesia adalah negara yang menganut sistem hukum nasional, yaitu menjamin perlindungan hak dan kewajiban segenap rakyatnya. Segala aspek terkait kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan diatur sesuai dengan hukum yang berlaku.

Untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dalam melindungi dan mengayomi masyrakat maka diperlukan tatanan tata tertib di bidang pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Pembentukan peraturan ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Dimana undang-undang ini menggantikan landasan sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Undang-undang ini menjadi penyempurna terhadap undang-undang sebelumnya.


Perihal UU No 12 Tahun 2011


jogloabang.com

Peraturan perundang-undangan diartikan sebagai suatu peraturan tertulis yang di dalamnya terdapat norma hukum yang mengikat. Secara umum dibentuk ataupun ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Menurut Prof. Bagir Manan pengertian peraturan perundang-undangan merupakan setiap keputusan yang tertulis yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh lembaga dan pejabat negara yang menjalankan fungsi legislatif sesuai tata cara yang berlaku.

Dalam uraian 10 tahun 2004 Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Untuk dapat mengajukannya maka harus memenuhi beberapa syarat di bawah ini, yakni:

  • Peraturan perundang-undangan harus dalam wujud peraturan yang tertulis.
  • Dibentuk, ditetapkan, dan dikeluarkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang baik di tingkat pusat ataupun di tingkat daerah sekalipun.
  • Peraturan perundang-undangan harus berisi aturan pola tingkah laku atau norma hukum.
  • Peraturan perundang-undangan harus mengikat secara umum dan menyeluruh tanpa terkecuali.

Sebagai penyempurna undang-undang sebelumnya, UU Nomor 12 Tahun 2011 berisikan materi-materi pokok yang disusun secara sistematis. Diantaranya mencakup asas pembentukan perundang-undangan, materi muatan peraturan perundang-undangan dan lain sebagainya.

Pembentukan peraturan perundang-undangan disusun dengan metode yang pasti, baku, dan terstandar. Dalam undang-undan terbaru materi muatan diperluas tidak hanya mengatur pembentukan undang-undang namun juga mencakup peraturan perundang-undangan lainnya.

Prinsip Peraturan Perundang-undangan

tokopedia.com

Dalam pelaksanaannya UU No 12 Tahun 2011 telah direview melewati tahap uji materi secara yuridis. Sebuah peraturan perundang-undangan dapat dikatakan sah apabila mencakup prinsip-prinsip di bawah ini:

  • Dasar-dasar peraturan perundang-undangan selalu peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya.
  • Peraturan perundang-undangan baru mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lama.
  • Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
  • Hanya peraturan perundang-undangan tertentu saja yang dapat digunakan sebagai landasan yuridis. Hal tersebut menunjukkan hanya peraturan perundang-undangan yang sederajat ataupun yang lebih tinggi dan terkait langsung dengan peraturan perundang-undangan yang akan dibuat.
  • Peraturan perundang-undangan yang khusus mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum.
  • Setiap jenis peraturan perundang-undangan memiliki materi yang berbeda.

Hasil uji materi undang-undang ini memberikan putusan salah satunya terkait kewenangan DPD dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. MK (Mahkamah Konstitusi) memberikan wewenang kepada DPD untuk menjalankan fungsi legislasi.

Artinya dalam UU No 12 Tahun 2011 dituliskan kembali ihwal dan perihal terkait segala putusan MK. Namun sejauh ini pembentukan undang-undang masing bersifat sektoral baik di lingkungan pemerintah pusat, DPR, maupun DPD.

Hal ini menjadi satu titik kelemahan UU No 12 Tahun 2011 ini. Salah satu penyebabnya karena pengaturan dalam undang-undang secara tegas belum mengatur materi muatan Undang-Undang disamping proses legislasi bukanlah proses yang steril dari kepentingan politik.

Namun disamping semua itu penyempurnaan terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan juga dilakukan. Untuk menghasilkan pedoman yang lebih jela dan pasti dalam sistem tatanan hukum nasional, termasuk di dalamnya peraturan perundang-undangan di daerah.

Keyword: UU No 12 Tahun 2011

Originally posted 2020-10-19 14:00:37.

Categories
Ilmu Pendidikan

UU No 12 Tahun 2006 Mengenai Status Kewarganegaraan di Indonesia

Sebagai pengganti UU No 62 Tahun 1958, pada tanggal 1 Agustus 2006 UU No 12 Tahun 2006 sah diresmikan. Menjadi undang-undang baru yang mengatur perihal status kewarganegaraan di Republik Indonesia.

Undang-undang adalah pondasi dasar sistem hukum dapat berjalan di sebuah negara. Di Indonesia sendiri seluruh kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat kita semuanya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Warga sebagai unsur hakiki sebuah negara harus memiliki status yang jelas serta berhak mendapatkan perlindungan dari negaranya. Hak dan kewajiban warga negara merupakan satu pokok bahasan yang diatur oleh sistem perundang-undangan.

Adapun perihal ihwal undang-undang kewarganegaraan sudah mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Berikut ulasan lengkapnya:


Terbentuknya UU No 12 Tahun 2006


dictio.id

Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dimana segala aturannya didasarkan atas hukum yang berlaku. Segala hal yang berkaitan dengan warga negara diatur dalam aturan yang baku guna melaksanakan kegiatan berbangsa dan bernegara.

Sejak Indonesia merdeka perihal kewarganegaraan telah mengalami berkali-kali mengalami perubahan perundang-undangan. Secara yuridis perihal status kewarganegaraan telah diatur dalam Undang-Udang Kewarganegaraan yakni Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950.

Namun seiring berlakunya Dekrit Presiden pada tahun 1959, maka UUD 1945 kembali diberlakukan. Dimana seperti yang kita ketahui bersama UUD 1945 sudah berkali-kali pula mengalami amandemen dengan tujuan lebih menjamin perlindungan HAM dan hak warga negara.

Awal mulanya perihal tentang warga negara dan penduduk negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958. Hampir setengah abad lamanya pengaturan mengenai kewarganegaraan mengacu pada undang-undang ini.

Seiring berjalannya waktu UU ini dianggap sudah tidak sanggup lagi mengkoordinir kepentingan pihak kewarganegaraaan khususnya perihal anak dari hasil perkawinan campuran. Secara filosofis, yuridis, dan sosiologis UU tersebut sudah tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia.

Selain perihal perkawinan campuran, UUDS Tahun 1950 dianggap masih mengandung ketentuan-ketentuan yang belum sejalan dengan falsafah Pancasila. Diantaranya bersifat diskriminatif, tidak terlalu menjamin pemenuhan hak asasi, dan kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak.

Berdasarkan perihal tersebut pada tanggal 11 Juli 2006 DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru yaitu UU Nomor 12 Tahun 2006. Aturan terbaru dari undang-undang ini adalah memperbolehkan dwi kewarganegaraan

Perkawinan Campuran

Meski menimbulkan pro kontra, namun tak sedikit yang gembira menyambut undang-undang ini khususnya bagi mereka yang menikah dengan warga negara asing.

Menjadi salah satu persoalan yang cukup rentan karena anak yang lahir dari perkawinan campuran dahulu belum memiliki status kewarganegaraan yang jelas. Dahulunya Indonesia menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, yaitu seorang anak hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan.

Dalam undang-undang lama seorang anak yang lahir dari hasil perkawinan campuran harus mengikuti status kewarganegaraan ayahnya. Hal ini tentu saja menimbulkan persoalan baru jikalau nanti di kemudian hari kedua orang tua tersebut bercerai.

Seorang Ibu akan kesulitan memperoleh hak asuh anaknya karena berstatus warga negara asing atau tidak sama dengan kewarganegaraan Ibu kandung. Untuk itu UU Nomor 12 Tahun 2006 meninjau dan mengatur kembali perihal yang berkaitan dengan status kewarganegaraan secara lebih detail.

Sebab hak kewarganegaraan sangat penting artinya karena merupakan bentuk pengakuan asasi suatu negara terhadap warga negaranya. Sekaligus mengatur tentang hubungan timbal balik antar warga negara dan negaranya melalui perihal asas hak dan kewajiban.

Dengan terbentuknya UU Nomor 12 Tahun 2006 diharapkan dapat menghapuskan dampak buruk dari UU yang lama. Sehingga keadilan dapat ditegakkan dimana negara memperlakukan warga keturunan asli dan campuran dengan perlakuan yang sama tanpa dibedakan.

Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi hak seorang anak dalam mendapatkan status kewarganegaraan. Jangan sampai seorang anak tidak mendapatkan perlindungan hanya karena kehilangan status kewarganegaraan akibat perkawinan campuran.

Isi UU Nomor 12 Tahun 2006

Beberapa poin terpenting dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, di antaranya adalah:

  1. Sifat non-diskriminatif yaitu status kewarganegaraan Indonesia seseorang tidak lagi ditentukan berdasarkan ras, keturunan, suku bangsa, agama dan sebagainya. Tetapi ditentukan berdasarkan aturan hukum.
  2. Memberi kewarganegaraan terbatas kepada: Seorang anak WNI yang lahir dari suatu perkawinan campuran. Anak WNI yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara sah oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan. Seorang anak dari pasangan WNI yang lahir di negara yang menganut asas ius soli. Anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah dan diakui oleh ayahnya yang WNA.
  3. Memberi kesempatan memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia kepada anak-anak yang lahir dari suatu perkawinan campuran yang lahir sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI yang belum berusia 18 tahun dan belum kawin.
  4. Persamaan di depan hukum bagi perempuan dan laki-laki untuk mengajukan pewarganegaraan.
  5. Kehilangan kewarganegaraan bagi suami atau istri yang terikat perkawinan yang sah tidak menyebabkan hilangnya status kewarganegaraan dari istri atau suami.
  6. Kehilangan kewarganegaraan Indonesia bagi seorang ayah atau ibu tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya.

Sekian ulasan mengenai UU Nomor 12 Tahun 2006. Semoga menambah wawasan kita tentang status kewarganegaraan di Repblik Indonesia.

Keyword: UU No 12 Tahun 2006

Originally posted 2020-10-19 13:00:39.